Friday 17 June 2016

Perkenalan dengan kanker

Sewaktu kecil dulu, rumah Oma saya di Jalan Teuku Umar, Menteng. Tidak jauh dari rumah Oma saya, ada Yayasan Kanker Indonesia dan di depannya ada tukang bakso. Seingat saya, saya, para sepupu dan pembantu Oma saya suka main di lapangan parkirnya sambil menunggu pesanan bakso untuk dibawa makan di rumah. Nah, sekali waktu saat menunggu, saya melihat seorang paruh baya, entah perempuan atau lelaki. Rambutnya botak, badannya kurus, masuk ke gedung itu. Ketika saya sudah cukup besar utuk mencerna kata dan arti dari penyakit kanker, begitulah bayangan saya akan penderita kanker. Kepala botak, badan kurus, mata cekung, muka menyeramkan. Dan penderitanya biasanya sudah berumur. Ini yang terus menjadi bayangan saya tentang kanker hingga mungkin usia belasan tahun.  Hingga suatu hari, Ibu dari sahabat SD saya meninggal dunia karena kanker payudara di usia 30-an tahun. Saat itu saya belajar, oh, kanker tidak hanya bisa menyerang orang berumur.

Flash forward 20 tahun kemudian. Di usia 36 tahun, saya divonis terkena kanker payudara. Nek, umur 36 tahun, siapa sih yang nyangka akan kena kanker payudara? Tapi begitulah kenyataannya. Di blog post saya kali ini, saya akan cerita bagaimana kisah diagnosa hingga perasaan saya waktu pertama kali didiagnosa.

Jadi, sedari umur 20-an tahun, saya SELALU punya benjolan di payudara saya. Namun, saya selalu RUTIN periksa ultrasound dan ke dokter onkologi payudara. Tahun 2002, saya pertama kali di lumpetomi, yakin benjolannya diambil. Tahun 2010, setelah melahirkan dan menyusui kembali saya lumpektomi. Hasil laporan histologinya selalu negatif kanker, alias tumor jinak. Ketika tinggal di Jerman, saya juga konsul ke dokter di departemen senologi (setelah saya check, ternyata ini department yang khusus penyakit di payudara mulai dari kanker hingga kista). Kata Mbak dokter (kebetulan dokternya cantik, ramah dan mudaaaa banget), saya ada benjolan yang disuspect sebagai tumor jinak lagi. Tapi, saya diminta untuk kembali lagi dalam tiga bulan. Pas kembali, masih dengan gayanya yang ramah dan murah senyum, beliau minta saya untuk di biopsi. Apa pula itu biopsi pikir saya? Sila google sendiri, tapi kira-kira begini, biopsi itu memasukkan jarum ke dalam payudara untuk ambil sampel untuk kemudian diperiksa secara histologis.

Tiga bulan berselang, saya kembali datang untuk di biopsi. Pada prosesnya, ada satu dokter yang melakukan prosedur dan dua suster untuk megang tangan saya. Duh gusti, pasti sakit nih, pikir saya. Ternyata enggak tuh. Malamnya, saya dapat telpon dari dokter, hasilnya "clear". Cuman another tumor jinak. Juvenile fibroadenoma istilahnya.

Flash forward, saya pindah ke US. Seperti biasa saya lapor ke dokter ginekolog untuk minta rujukan  check-up payudara. Saya dapat rujukan untuk mamogram dan usg. Pergilah saya ke rumah sakit paling mutakhir di kota saya tinggal. Agak bete, karena menurut saya mamogram agak gak guna, lah wong saya masih di bawah 40 tahun, pasti hasilnya burem karena payudara saya dense sekali - ini kata dokter saya di Jerman loh. Bener kan, pas mamogram, saya harus diulang-ulang sekian kali sambil teknisinya ngomel-ngomel. Sehabis itu dilanjutkan dengan usg. Kira-kira dua hari kemudian, belum ada kabar dari rumah sakit mengenai hasil pemeriksaan saya. Inisiatif saya telpon ke dokter perujuk saya. She did not sound happy at all. Tanda tedeng aling-aling beliau bilang "Wow, you have many spots to be biopsied. Some of them are considered highly malignant". Gue keki sekaligus panik.

Pas hari H biopsi, saya justru pede. Saya justru cerita ke dokter dan perawat bahwa saya sudah pernah di biopsi dan hasilnya negatif. Mereka cuman berpandang-pandangan. Mungkin saat itu, mereka sudah yakin kalau hasilnya bakalan positif kanker.
Saya kira, sama seperti yang dulu, biopsi gak sakit dong. Saya salah besar. Kali ini sakitnya luar biasa. Bahkan kelar biopsi saya mesti harus di mamogram. Rasanya kaya ketiban durian, literally.

Dua minggu kemudian, saya harus menemui dokter breast surgeon untuk tahu hasil biopsinya. Hari itu, saya berangkat sendiri ke Rumah Sakit naik Uber. Suami saya, entah kenapa, punya feeling dan memutuskan untuk kerja dari rumah. Lucunya lagi, sebelum saya berangkat siaran tivi saat itu sedang membahas breast cancer gene, dimana ada lima bersaudari yang semuanya kena breast cancer. I was like..... oh shit...... jangan-jangan pertanda nih.

Sampai di dokter, semua pasien yang nunggu sudah berumur, saya paling muda. Dan satu-satunya Asia. Bukannya ge-er, tapi rasanya semua mata melihat ke saya. Gak lama kemudian saya dipanggil masuk.

Susternya luar biasa ramah. Sumpah, saya ngerasa diorangin banget sama si suster ini. She tried to make jokes, nawarin minum, sampe feeling saya justru gak enak.....Nih suster baik sama gue karena emang ramah banget bawaannya apa karena kasihsan sama saya ya? Saya kemudian diminta ganti baju periksa - itu loh baju rumah sakit yang bukaannya di depan. Kemudian si suster ramah ini memperkenalkan dokter muda yang katanya akan bahas hasil histologi report saya, sebelum dokter utamanya masuk. Dokter muda ini kayanya semacam dokter residen atau intern kalau di Indo. Saya sudah gak simpati dari pertama lihat nih dokter. Udah lah mukanya macam orang baru bangun tidur, rambutnya dikuntel, gak ada senyum dan yang paling bego.... sewaktu baru login ke komputer tiba-tiba dia nanya ke si suster ramah "Um... can you tell me again how to open the file for NEW CANCER PATIENT?" Sumpah muka si suster merah abis, dia berusaha banget menjaga perasaan gue dan bilang ke si dokter kalau lo bisa pake 'any kind of file for any new patient'. Kembali si dokter residen bloon ini nanya pertanyaan yang sama. Kali ini si suster nyamperin beliau ke komputer dan ngerjain yang diminta tanpa banyak bicara. Saat itulah pertama kali gue ngerasa dag-dig-dug dan feeling enggak enak.

Ketika tinggal berdua, si dokter menanyakan historis kesehatan keluarga saya, apakah pernah ada keluarga yang sakit kanker, berapa yang hidup, berapa yang meninggal, pernah sakit apa aja, pernah tinggal atau bekerja di daerah radiasi tinggi - yang gue jawab meneketehe! Kemudian beliau ngeluarin kertas dan bilang: "well, now, let's talk about your treatment" Bentar Mbakyu, gue bilang.... (sebetulnya sih gue pengen bilang, "eh semprul..... hasil biopsi gue apaan?"), gimana hasil biopsi saya? Beliau malah balik nanya, "lha, kamu belum tahu?"
Kemudian beliau menyodorkan kertasnya ke saya dan mengucapkan kalimat yang merubah hidup saya: "This is result of your biopsy. It is cancer."

Abis itu semuanya seperti bukan realita. Dokter utamanya masuk dan langsung diskusi mengenai operasi. Bahkan tanggal operasi saya ternyata udah dijadwalkan. Pokoknya saya harus segera operasi. saya tanya, abis operasi, terus apa selanjutnya. Dan jawaban inilah yang bikin saya semakin bingung. Mereka jawab: kami belum tahu. Apakah harus kemoterapi atau radiasi? Kami belum tahu, itu semua tergantung hasil operasi dan tergantung dokter onkologi. Apakah saya bisa bertemu dokter onkologi sebelum operasi? Belum, jawabnya. Pokoknya, kamu harus operasi dulu. Setelah kedua dokter itu keluar, si suster ramah masuk lagi dan menjelaskan proses pre-op dan post op. Bahkan keramahan beliau pun enggak bisa mengambalikan pikiran saya kembali ke realita. Anehnya, saya sama sekali tidak nangis. Dan tidak sedih. Bahkan ketika si suster nawarin saya tisu pun. Bahkan ketika menunggu Uber di lobbby rumah sakit dan naik Uber kembali ke rumah.

Saat tiba di rumah, saya ngebel, walapun bawa kunci. Suami saya membukakan pintu sambil cengengesan godain saya yang dia kira males ngeluarin kunci dari tas. Gimana hasilnya? Tanya suami saya. Saya cuman bilang " Duduk dulu Mas". Saya enggak akan lupa wajah suami saya sewaktu itu. "Hasilnya gimana?" Suaranya mulai panik. Kami berdua duduk, saya pegang tangannya dan kemudian langsung menangis di bahunya..... saya gak berkata apa-apa lagi. Saya belum pernah nangis sekenceng dan selama itu di depan suami saya. Ketika saya mulai tenang, pertanyaan pertama suami saya adalah stadium berapa (kankernya) dan jenis apa operasinya. Saya jawab pelan-pelan..... dan kemudian nangis lagi. Hari itu, 6 November 2015 adalah hari pertama dimana saya dan suami saya nangis bersama-sama.