Wednesday, 20 July 2016
Kabar-kabari
Selama tiga hari saya enggak bisa tidur nyenyak, (ya iyalah.....) dan pikiran saya melayang kemana-mana. Gimana kalau treatmentnya gagal? Gimana kalau ternyata kankernya enggak hanya ada di payudara tapi juga hinggap di organ lain?
Tiga hari saya cuman nangis dan nangis, tapi saya sadar, saya harus bangkit dan menghadapi kenyataan. Nangis gak akan menyelesaikan masalah, apalagi bikin kanker saya sembuh. Ada juga bikin mata saya bengkak.
Hal terberat kedua setelah ngedenger diagnosa dokter adalah memberitahu keluarga dan teman terdekat mengenai kondisi saya. Orang pertama yang harus saya kasih tahu setelah suami saya? Anak saya. Rania baru berusia tujuh tahun dan lagi senang-senangnya main Shopkins. She didnt deserve to hear the news. But, she didn't even cry when I told her about it. Dia nanya "are you going to die?", membandingkan kisah saya dengan iklan anti rokok yang sering dia lihat di tivi. Saya bilang, bisa aja. Rania bilang "I will be so sad, but I promise I will visit your grave."
Saya juga menjelaskan bahwa satu-satunya cara saya bisa sembuh adalah dengan minum Mommy Juice.... alias kemoterapi. Dan "Juice" ini akan bikin saya jadi botak dan jelek, saya bilang. Rania bilang, dia akan belikan saya topi dan wig yang banyak.
Setelah itu saya mengabari adik saya satu-satunya, yang kaget berat denger kabar dari saya. "Perasaan gue yang gaya idupnya gak sehat, kenapa malah elu yang sakit?" (kebetulan doski perokok). Saya konsultasi gimana cara ngasih tahu orang tua saya, saya takut orang tua saya kaget atau malah sampe stres sehabis dengar anak perempuan satu-satunya sakit kanker. Kalau mereka nggeblak sehabis saya kabari, bisa-bisa saya dimusuhi orang sekampung. Syukurnya, sewaktu saya kabari mereka amat bisa menerima dan gak sampe pingsan segala. Padahal saya sudah geer duluan hehehe....
Sejak didiagnosa, kemo sampai selesai operasi, saya nyaris enggak koar-koar ke sosmed. Mungkin hanya satu-dua kali aja. Hanya beberapa teman dekat di Indo yang saya kabari pada awalnya dan beberapa teman baik saya disini. Saya gak mau banyak cerita dulu di sosmed. Pertama, saya belum cukup siap dengan segala komentar atau pertanyaan yang mungkin akan saya dapat. Yang kedua, saya gak mau nanti dikira pengeluh. Iya kalau yang ngebaca ikut doain agar saya cepat sembuh, lha kalo malah nyukurin, runyam deh.
Reaksi dari teman-teman saya di Indo luar biasa. Semua memberi support walaupun secara LDR, he he he.... Sedang teman-teman dekat saya disini langsung bergerak cepat dengan membuat jadwal jenguk dan 'rantangan" alias kirim makanan.... Yoi, tiap minggu selama saya kemoterapi, dua atau tiga kali teman-teman saya akan menjenguk dan ngirimin saya makanan sehat. Reaksi teman-teman disini yang saya beri tahu langsung pun macam-macam. Ada yang nangis, ada yang bengong, ada yang langsung lari nyeker ke rumah saya sehabis saya sms.
"Hard times will reveal true friends" katanya. Dengan sakit ini saya bisa tahu mana teman yang benar-benar peduli, dan mana yang cuman kepoh aja. Alhamdulillah, kelompok yang kedua ini nyaris enggak ada.
Friday, 17 June 2016
Perkenalan dengan kanker
Flash forward 20 tahun kemudian. Di usia 36 tahun, saya divonis terkena kanker payudara. Nek, umur 36 tahun, siapa sih yang nyangka akan kena kanker payudara? Tapi begitulah kenyataannya. Di blog post saya kali ini, saya akan cerita bagaimana kisah diagnosa hingga perasaan saya waktu pertama kali didiagnosa.
Jadi, sedari umur 20-an tahun, saya SELALU punya benjolan di payudara saya. Namun, saya selalu RUTIN periksa ultrasound dan ke dokter onkologi payudara. Tahun 2002, saya pertama kali di lumpetomi, yakin benjolannya diambil. Tahun 2010, setelah melahirkan dan menyusui kembali saya lumpektomi. Hasil laporan histologinya selalu negatif kanker, alias tumor jinak. Ketika tinggal di Jerman, saya juga konsul ke dokter di departemen senologi (setelah saya check, ternyata ini department yang khusus penyakit di payudara mulai dari kanker hingga kista). Kata Mbak dokter (kebetulan dokternya cantik, ramah dan mudaaaa banget), saya ada benjolan yang disuspect sebagai tumor jinak lagi. Tapi, saya diminta untuk kembali lagi dalam tiga bulan. Pas kembali, masih dengan gayanya yang ramah dan murah senyum, beliau minta saya untuk di biopsi. Apa pula itu biopsi pikir saya? Sila google sendiri, tapi kira-kira begini, biopsi itu memasukkan jarum ke dalam payudara untuk ambil sampel untuk kemudian diperiksa secara histologis.
Tiga bulan berselang, saya kembali datang untuk di biopsi. Pada prosesnya, ada satu dokter yang melakukan prosedur dan dua suster untuk megang tangan saya. Duh gusti, pasti sakit nih, pikir saya. Ternyata enggak tuh. Malamnya, saya dapat telpon dari dokter, hasilnya "clear". Cuman another tumor jinak. Juvenile fibroadenoma istilahnya.
Flash forward, saya pindah ke US. Seperti biasa saya lapor ke dokter ginekolog untuk minta rujukan check-up payudara. Saya dapat rujukan untuk mamogram dan usg. Pergilah saya ke rumah sakit paling mutakhir di kota saya tinggal. Agak bete, karena menurut saya mamogram agak gak guna, lah wong saya masih di bawah 40 tahun, pasti hasilnya burem karena payudara saya dense sekali - ini kata dokter saya di Jerman loh. Bener kan, pas mamogram, saya harus diulang-ulang sekian kali sambil teknisinya ngomel-ngomel. Sehabis itu dilanjutkan dengan usg. Kira-kira dua hari kemudian, belum ada kabar dari rumah sakit mengenai hasil pemeriksaan saya. Inisiatif saya telpon ke dokter perujuk saya. She did not sound happy at all. Tanda tedeng aling-aling beliau bilang "Wow, you have many spots to be biopsied. Some of them are considered highly malignant". Gue keki sekaligus panik.
Pas hari H biopsi, saya justru pede. Saya justru cerita ke dokter dan perawat bahwa saya sudah pernah di biopsi dan hasilnya negatif. Mereka cuman berpandang-pandangan. Mungkin saat itu, mereka sudah yakin kalau hasilnya bakalan positif kanker.
Saya kira, sama seperti yang dulu, biopsi gak sakit dong. Saya salah besar. Kali ini sakitnya luar biasa. Bahkan kelar biopsi saya mesti harus di mamogram. Rasanya kaya ketiban durian, literally.
Dua minggu kemudian, saya harus menemui dokter breast surgeon untuk tahu hasil biopsinya. Hari itu, saya berangkat sendiri ke Rumah Sakit naik Uber. Suami saya, entah kenapa, punya feeling dan memutuskan untuk kerja dari rumah. Lucunya lagi, sebelum saya berangkat siaran tivi saat itu sedang membahas breast cancer gene, dimana ada lima bersaudari yang semuanya kena breast cancer. I was like..... oh shit...... jangan-jangan pertanda nih.
Sampai di dokter, semua pasien yang nunggu sudah berumur, saya paling muda. Dan satu-satunya Asia. Bukannya ge-er, tapi rasanya semua mata melihat ke saya. Gak lama kemudian saya dipanggil masuk.
Susternya luar biasa ramah. Sumpah, saya ngerasa diorangin banget sama si suster ini. She tried to make jokes, nawarin minum, sampe feeling saya justru gak enak.....Nih suster baik sama gue karena emang ramah banget bawaannya apa karena kasihsan sama saya ya? Saya kemudian diminta ganti baju periksa - itu loh baju rumah sakit yang bukaannya di depan. Kemudian si suster ramah ini memperkenalkan dokter muda yang katanya akan bahas hasil histologi report saya, sebelum dokter utamanya masuk. Dokter muda ini kayanya semacam dokter residen atau intern kalau di Indo. Saya sudah gak simpati dari pertama lihat nih dokter. Udah lah mukanya macam orang baru bangun tidur, rambutnya dikuntel, gak ada senyum dan yang paling bego.... sewaktu baru login ke komputer tiba-tiba dia nanya ke si suster ramah "Um... can you tell me again how to open the file for NEW CANCER PATIENT?" Sumpah muka si suster merah abis, dia berusaha banget menjaga perasaan gue dan bilang ke si dokter kalau lo bisa pake 'any kind of file for any new patient'. Kembali si dokter residen bloon ini nanya pertanyaan yang sama. Kali ini si suster nyamperin beliau ke komputer dan ngerjain yang diminta tanpa banyak bicara. Saat itulah pertama kali gue ngerasa dag-dig-dug dan feeling enggak enak.
Ketika tinggal berdua, si dokter menanyakan historis kesehatan keluarga saya, apakah pernah ada keluarga yang sakit kanker, berapa yang hidup, berapa yang meninggal, pernah sakit apa aja, pernah tinggal atau bekerja di daerah radiasi tinggi - yang gue jawab meneketehe! Kemudian beliau ngeluarin kertas dan bilang: "well, now, let's talk about your treatment" Bentar Mbakyu, gue bilang.... (sebetulnya sih gue pengen bilang, "eh semprul..... hasil biopsi gue apaan?"), gimana hasil biopsi saya? Beliau malah balik nanya, "lha, kamu belum tahu?"
Kemudian beliau menyodorkan kertasnya ke saya dan mengucapkan kalimat yang merubah hidup saya: "This is result of your biopsy. It is cancer."
Abis itu semuanya seperti bukan realita. Dokter utamanya masuk dan langsung diskusi mengenai operasi. Bahkan tanggal operasi saya ternyata udah dijadwalkan. Pokoknya saya harus segera operasi. saya tanya, abis operasi, terus apa selanjutnya. Dan jawaban inilah yang bikin saya semakin bingung. Mereka jawab: kami belum tahu. Apakah harus kemoterapi atau radiasi? Kami belum tahu, itu semua tergantung hasil operasi dan tergantung dokter onkologi. Apakah saya bisa bertemu dokter onkologi sebelum operasi? Belum, jawabnya. Pokoknya, kamu harus operasi dulu. Setelah kedua dokter itu keluar, si suster ramah masuk lagi dan menjelaskan proses pre-op dan post op. Bahkan keramahan beliau pun enggak bisa mengambalikan pikiran saya kembali ke realita. Anehnya, saya sama sekali tidak nangis. Dan tidak sedih. Bahkan ketika si suster nawarin saya tisu pun. Bahkan ketika menunggu Uber di lobbby rumah sakit dan naik Uber kembali ke rumah.
Saat tiba di rumah, saya ngebel, walapun bawa kunci. Suami saya membukakan pintu sambil cengengesan godain saya yang dia kira males ngeluarin kunci dari tas. Gimana hasilnya? Tanya suami saya. Saya cuman bilang " Duduk dulu Mas". Saya enggak akan lupa wajah suami saya sewaktu itu. "Hasilnya gimana?" Suaranya mulai panik. Kami berdua duduk, saya pegang tangannya dan kemudian langsung menangis di bahunya..... saya gak berkata apa-apa lagi. Saya belum pernah nangis sekenceng dan selama itu di depan suami saya. Ketika saya mulai tenang, pertanyaan pertama suami saya adalah stadium berapa (kankernya) dan jenis apa operasinya. Saya jawab pelan-pelan..... dan kemudian nangis lagi. Hari itu, 6 November 2015 adalah hari pertama dimana saya dan suami saya nangis bersama-sama.
Saturday, 3 January 2015
Things I learned in 2014
Thursday, 27 November 2014
On being grateful
On being grateful
Tuesday, 18 November 2014
The Cruise
Tuesday, 11 November 2014
International Moms
Saturday, 8 November 2014
The 12 years of not moving on.
Thursday, 6 November 2014
Outgrowing Technology
"I fear the day when the technology overlaps with our humanity. The world will only have a generation of idiots",accompanied by photos of different group of people sitting together but had their eyes on their phones instead of interacting with each other. Regardless of whether the quote is original from Einstein or if it is actually another addition to long list of internet hoax, it made a lot of sense with what happen with our community today.
Just two days a go I read a lady selling her two used a year old iPads in a buy-sell group. She stated "These used to be my kids iPad but they outgrew them." First iPad. First. iPad. I mean, what kind of a world do we live in now that kids got their own iPad where they would outgrew them. Dont get me wrong, I love technology but I do not treat iPad like clothe where my kid would outgrew them in a matter of months.
Talking about technology, I just got my new iPhone 6 Plus. I do not feel that much difference in terms of speed or technology, except of the Health app. Since I will start walking again with my neighbors this week, this apps will become useful - at least I know how much calories I am entitled gulp in after the run. Ha!
Another thing that I want to share is about this item. I think this gadget is so cute. I am not sure if this is actually useful for me; I mean it does everything that a phone can do, but instead of typing you can speak to it. Anyway, I think it 's just cute!
Amazon Echo
Friday, 24 October 2014
'Life is what actually happens while we dream our dreams'
When I was 19, someone asked me when I plan to get married and be a wife. Question like this might sound uncourteous in Western culture but sadly this is the type of question faced but young or unmarried women in Indonesia, or Asia. At the time I laughed at the idea of having a husband and a family and boasted that I get married by 30 and after my Phd. Fast forward 15 years later and here I am, happily married to an amusing husband and we have a cute daughter together. Most importantly, the married adventure started when I was 28 – not 30; AND the only Phd I have now is doctor of girls tea-time philosophy, if there's any.
Sometime when the house empty I'd pondered what would life be if I changed course. Not the Star Trek time machine course but more like X-Men: days of Future past course, you know, like what will happen if my current self-came back in time and became my old self and did the opposite of what I did.
Will I still be here in US? Will I have another family? Will I have a Phd in Physics or Nuclear science or maybe another Phd holder in tea-time philosophy? Most importantly, will I be happier? Will I be living my dream of tying the knot at 30 and fulfilled my dreams?
My answer is, I do not know. And I probably will never know. For all I know, I am doing my life now and I love the way I am doing it, whether it is my dream life or not.
As what I quoted in my recently-found blog from 2003: Life is what actually happens while we dream our dreams.